X: "Mal, kamu kalo nulis di koran gitu dapet fee berapa?"
Y: *menyebutkan range nominal angka*
X: "Wah, enak ya. Cuma nulis gitu doang dapetnya banyak."
[Dialog selesai]
Ehehe. "Cuma".
Tapi, kalo dipikir-pikir memang cuma sih. Dulu, pertama kali aku nulis Opini di Kompas, cuma karena lagi gelisah yang bertemu dengan kengangguran dan kebutuhan akan uang jajan tambahan. Iya, UANG. HAHAHAHAH. Jadi, buat yang mengira aku menulis karena kritis dan idealis, kalian keliru kawan, aku justru oportunis, materialis, dan melankolis #eaaa
I still remember that day, di hari-hari terakhir bulan Ramadhan tahun 2014. Pilpres lagi heboh-hebohnya. Ketika Indonesia terpecah menjadi dua kubu sebagaimana dulu kita harus memilih antara Joy atau Delon. Ketika kamu kenalan sama orang, dan pertanyaan yang diajukan setelah nama adalah: "Kamu pilih siapa?". Ketika isi timeline sosmed-mu hanya dua, orang yang membela mati-matian atau orang yang mengutuk habis-habisan.
Dunia persilatan pun makin heboh ketika The Jakarta Post terang-terangan menunjukkan tendensinya. Ditambah lagi dengan cover Tempo yang menampilkan selebrasi Jokowi. Kedua sikap media ini lantas bikin netizen teriak-teriak heboh, "MEDIA JAMAN SEKARANG NGGAK BISA DIPERCAYA!" "MEDIA UDAH NGGAK ADA LAGI YANG NETRAL!" "MEDIA ANTEK ASING! ANTEK KOMUNIS!
Melihat fenomena ini, aku yang waktu itu lagi anget-angetnya proposal skripsi, kemudian ikut tergelitik untuk berkomentar. Bercuap-cuaplah aku di status Facebook yang kemudian ditanggapi dengan manis serta kritis dari para dosen, teman kampus, dan salah satu editor in chief favoritku.
Dari diskusi kecil kami di status Facebook itu, aku pun mikir, "Wah, menarik nih kayaknya kalo dikembangin jadi tulisan opini buat dikirim ke koran." Tapi, pertanyaan selanjutnya yang timbul adalah: Mau dikirim ke koran apa?
Waktu itu, aku baru aja memenangkan kompetisi menulis yang diadakan Kompas, jadi yang terbesit pertama kali adalah mengirim tulisan(remah-remah wader crispy)ku itu ke Kompas.
Tapi kemudian, ada bisikan syaitonnirrojim yang nanya: Dih, yakin nih kirim ke Kompas? Baru pertama kali nulis Opini, ngirimnya langsung ke Kompas? NGACA WOI!
Aku pun sempat meragu. Sempat kepikiran buat ngirim tulisan itu ke koran-koran lokal di Batam. Tapi, entah kenapa, ada godaan-godaan kecil di dalam hati yang bilang: Angle tulisanmu ini sejalan dengan sikapnya Kompas. Belum tentu media lain juga berpendapat serupa, apalagi media sekarang kebanyakan dipengaruhi sikap politik pemiliknya.
Akhirnya....
Setelah bertapa selama satu purnama....
Dengan kepercayaan diri yang ditinggi-tinggikan dan mindset nothing to lose, aku pun memberanikan diri ngirim tulisan ke redaksi Opini Kompas.
Jeng jeng jeng...
Sambil merapal doa, besoknya aku beli Kompas, ternyata...
Tulisanku nggak dimuat.
Lusanya, aku beli Kompas lagi, dan...
Tulisanku (masih) nggak dimuat.
Besok lusanya, aku beli Kompas, dan...
Tulisanku (tetep aja) nggak dimuat :')
Aku mulai mencoba ikhlas. Mulai mikir, ah barangkali memang tulisanku belum pantas dimuat di koran sekaliber Kompas. Kudu banyak-banyak belajar dulu dengan ngirim Opini ke koran-koran lokal sebelum nyoba Kompas.
But then...
Beberapa hari kemudian. Aku yang terbiasa tidur lagi setelah sahur dan sholat shubuh ini (JANGAN DITIRU!), baru bangun menjelang jam 11 siang. Ngeliat hape, kok ada notifikasi sms, ternyata ada sms dari dosbing. Kirain mau nanya progres proposal skripsi atau ngirimin ucapan maaf-maafan (karena udah jelang lebaran), eh ternyata isi sms beliau adalah:
Hei mal, Selamat tulisanmu. Bagus sekali. Eling2 jaman enom.
Setelah ini, namamu akan dicatat oleh redaktur. Dan akan dilihat km konsisten tidak. Jadi, seringlah menulis tiap bulan. Sdh lama tak ada mhsw yg bisa memenuhi tantangan kompas.
Aku yang waktu itu masih ngumpulin ceceran nyawa, kesulitan memaknai sms beliau. Sambil memikirkan balasan yang tepat, buka-buka Line, kok ya ada temenku yang ngucapin selamat. Buka-buka
My very first published opinion :) |
Hari itu, saya membuktikan quotes: Membaca membuatmu mengenal dunia, menulis membuat dunia mengenal kamu :)
Cie cie happy ending~
But hey, postingan ini nggak selesai sampai disini doang.
Supaya mirip dongeng-dongeng Disney dan kalian nggak ngerasa sia-sia membaca tulisan ini, mari kita coba mencari hikmah dari cerita di atas.
First thing first, Never Underestimate Your Own Capability. Percaya diri is a must! Kalau kamu mempunyai kemampuan besar, beranilah mengambil tantangan besar. Beberapa teman pernah curcol, mereka nggak berani nulis opini ke koran apalagi koran nasional, karena nggak pede. Eaaaa, it's so classic. Kalo nggak pede terus, kapan majunya. Sama aja kayak naksir orang tapi nggak berani nunjukin, eh ujung-ujungnya galau ketika si doi nikah sama yang lain
Yang kedua, You'll Get Something Big When You Expect Less. Seperti tulisan pertamaku yang dimuat justru ketika aku udah nggak berharap lagi akan dimuat. And this kind of miracle happens more than once. Oleh karena itu, saya punya satu mantra ajaib: Do the best, Expect less, and Let God do the rest. Karena rasa sedih hanya ada ketika kamu pernah berekspektasi tinggi. Karena rasa kehilangan hanya ada ketika kamu pernah merasa memiliki. Karena si doi ujung-ujungnya akan nikah sama yang lain bila kamu tak kunjung memantaskan diri #eaaa #salahfokus. Intinya, coba praktikkan prinsip: Menulis, lalu lupakan. Nggak usah ditunggu-tunggu kapan dimuatnya. Percayalah, ketika tulisanmu dimuat, akan ada aja yang mendadak ngasih selamat ke kamu ehehe.
Terakhir, Berani Memulai. Orang bilang, mendapatkan itu mudah, mempertahankanlah yang sulit. Well, kalo menurutku, hal paling sulit adalah MEMULAI. Kalo dulu aku nggak berani memulai nulis opini di Kompas, barangkali sampai sekarang pun aku nggak akan berani nulis opini di koran nasional lain. Yang padahal, nggak hanya bisa jadi sarana berkarya dan mendapatkan teman baru, tapi juga sumber uang jajan tambahan. Memulai, apalagi memulai menulis paragraf pertama itu memang super sulit (termasuk saat menulis postingan ini). Tapi, setelah paragraf pertama selesai, you will easily follow the flow. Beranilah memulai. Entah itu memulai menulis di koran atau memulai ngechat si doi walau kamu perempuan #eh.
Jadi, memang bener sih kalo ada yang bilang, "Cuma nulis gitu doang dapetnya banyak."
Karena nulis opini memang cuma butuh cuma.
Cuma gelisah.
Cuma pede.
Dan cuma butuh duit (ini yang paling penting! HAHAHAH).
Well, selamat menulis! Mari berkarya untuk keabadian. Karena manusia bisa mati, tapi tulisan akan selalu abadi :))
XOXO,
Amal (yang sedang berusaha menembus kolom Opini Kompas lagi).
Muaaayak pek mbak iki.
BalasHapusKalau baca blog mbak amal, seperti baca surat cinta yang penuh makna ~~~
*sepik wah* hahaha
Nuhuuun mbak, tulisannya mbak Amal selalu inspiratif Dan bikin orang nggak pede-an (kayak aku :D) jadi termotivasi. Hahaha :D
Amal, aku jadi kangen nulis yg berbau politik or whatever yang berhubungan dengan surat kabar hehe. Nice update mal!
BalasHapusAmal, aku jadi kangen nulis yg berbau politik or whatever yang berhubungan dengan surat kabar hehe. Nice update mal!
BalasHapus