Sabtu, 02 Mei 2015

Pendidikan Patut Usia*


Barangkali, legenda Roro Jonggrang tak perlu lagi diceritakan pada anak-anak. Agar generasi penerus bangsa ini tak menjadi Bandung Bondowoso-Bandung Bondowoso yang dengan pongahnya merasa mampu melakukan banyak hal secara instan. Sebab, idiom “Lebih Cepat, Lebih Baik” meski bermaksud positif, tak selalu aplikatif. Salah satunya, bila diterapkan pada anak-anak yang masih menempuh pendidikan dasar. Terburu-buru untuk cepat, kadang malah membuat anak tersesat. Menjadikan mereka mengecap hal-hal yang tak sinkron dengan usianya.


Ya. Penulis sadar betul bahwa mengurus pendidikan memang bukan perkara mudah. Indonesia bahkan harus berganti kurikulum hingga sebelas kali sejak mendeklarasikan kemerdekaannya. Sayang, ibarat makanan, kita terlalu banyak mencicipi ini itu –tanpa menikmatinya sampai habis. Alhasil, yang didapat sekadar lidah yang mati rasa dan perut yang tak kunjung kenyang. 

Pergantian kurikulum hingga berulang kali menunjukkan adanya krisis pada pendidikan kita. Krisis yang jelas bukan kebetulan belaka. Ada sebab-sebab yang lantas melahirkan berbagai akibat. Di mana, menurut penulis, salah satu penyebabnya adalah pendidikan anak-anak yang kini tak sejalan dengan usianya. Baik itu pendidikan di dalam maupun luar sekolah.

 
Instanisme pada Pendidikan Dalam Sekolah
Contoh sederhana saja. Untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar (SD), anak-anak kerap dituntut agar mahir membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Syarat tersebut lalu ditolak oleh Muhammad Nuh[1],  Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 2009-2014, yang mengatakan bahwa Taman Kanak-Kanak (TK) bukanlah sekolahan, namun taman bermain. Yang sewajarnya tidak diberikan pelajaran mengenai berhitung dan membaca. Calistung justru baru diajarkan ketika seorang anak duduk di bangku SD.  Meski Nuh mengancam akan memberi sanksi pada SD yang memberlakukan syarat calistung dalam penerimaan siswa barunya, kita tentu tahu sekolah-sekolah di negeri ini selalu lebih “pintar-pintar” mengakali peraturan yang diterapkan. 

Lagipula, menjadi paradoks, ketika Nuh melarang syarat calistung, namun membiarkan kursus membaca dan berhitung cepat merajalela. Padahal, jelas-jelas kursus semacam itu ditujukan untuk anak-anak TK. Orangtua yang khawatir anaknya tidak dapat lolos ke SD terbaik, lantas berbondong-bondong memasukkan anak-anak mereka ke kursus tersebut, meski harus merogoh uang yang tak sedikit. Bahkan, seorang kepala sekolah salah satu PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di Batam[2], pernah bercerita pada penulis kalau ia kerap kebingungan dengan para orangtua yang mengeluh ketika anak-anak mereka tidak mahir calistung.
  
Kekhawatiran serta keluhan orangtua (yang sebenarnya berlebihan itu) merupakan akibat ketika dunia pendidikan telah terperangkap dalam mekanisme pasar serta dirasuki ideologi kapitalisme. Pendidikan dikemas sebagai suatu komoditi, di mana orangtua menjadi target konsumen yang potensial. Anak kemudian hanya menjadi korban dari gaya hidup orangtuanya yang terjebak dalam budaya instan dan tak mau kalah cepat dengan orangtua-orangtua lain.

Lalu, selain syarat masuk tersebut, penulis juga merasa terganggu dengan jumlah jam dan muatan pada mata pelajaran yang memberatkan anak. Baik secara fisik maupun psikologis. Perhatikan saja, anak-anak usia dini yang kini harus menggendong tas berisikan buku-buku pelajaran yang lebih berat dari badannya sendiri. Berangkat sekolah di pagi hari, pulang di sore hari, dan menghabiskan malam hari dengan mengerjakan pekerjaan rumah yang menumpuk. Meski penulis mengapresiasi jumlah mata pelajaran yang dikurangi pada kurikulum 2013, sangat disayangkan bila jam belajar-mengajar justru ditambah dari yang semula 26 jam per minggu menjadi 30-32 jam per minggu.

Sindrom too-much-schooling semacam ini tentu berdampak pada keberadaan keluarga dan lingkungan sekitar sebagai “sekolah” pertama bagi anak. Keberadaan keduanya akan kian tergusur. Yang lantas membuat anak hanya cerdas secara teori, namun kreativitasnya mati. Anak akhirnya tergagap-gagap ketika di kemudian hari hidup dan berinteraksi dengan masyarakat. 

Belum lagi, materi-materi yang diajarkan juga terlalu berat. Misalnya, anak kelas IV SD yang pada pelajaran PPKN diminta untuk menggambarkan struktur organisasi desa, kecamatan, hingga provinsi. Padahal, anak seusia itu bahkan belum paham apa sebenarnya yang dimaksud dengan pemerintahan[3]. Hal senada juga ditemukan pada fenomena 4x6 vs 6x4 yang sempat hits beberapa waktu lalu. Guru yang serta-merta menyalahkan jawaban sang anak menunjukkan kalau kini anak SD dipaksa memahami definisi tanpa diberitahukan prinsip bahwa sering kali ada banyak cara untuk mendapatkan hasil yang sama. Anak, seolah-olah, dituntut untuk mengetahui dan memahami segala hal. Ibaratnya, mereka adalah bayi yang giginya baru saja tumbuh, namun sudah disuapi nasi bertekstur keras beserta sambal super-pedas oleh ibunya sendiri. 

Bukankah akan lebih menyenangkan –juga bermanfaat, bila kemampuan anak dimanfaatkan sedemikian rupa sesuai minat dan bakat mereka. Tanpa perlu memaksanya untuk memahami setiap sudut di alam semesta –secara mendalam dan definitif. Agar pemikiran anak tak tertekan dan menjadikan level kreativitas Indonesia tak lagi berada di posisi terakhir di antara negara lain[4]. Agar di kemudian hari, tak ada lagi politikus dan akuntan handal yang malah memilih kelas IPA saat duduk di Sekolah Menengah Atas (SMA). Agar tak lagi banyak mahasiswa yang mengikuti ujian masuk universitas berulang kali, pindah kampus setiap tahun, hanya karena potensi diri mereka sejak awal belum tergali. Agar di masa depan tak lagi ada pelacur-pelacur intelektual, yang menjajakan kemampuan mereka karena sejak dini dibiasakan untuk mendapatkan semaksimal mungkin dalam waktu seminim mungkin.


Kelalaian di Pendidikan Luar Sekolah
Yang dikedepankan oleh kurikulum 2013 adalah pendidikan karakter. Di mana, menurut penulis, karakter seseorang sangat dipengaruhi oleh buku yang dibaca, acara televisi yang ditonton, serta lagu yang didengarkan. Sehingga, peran guru maupun orangtua amat krusial untuk mengontrol dan meliterasi anak dalam hal penggunaan media. Sayangnya, pada penerapan pendidikan luar sekolah ini, guru dan orangtua justru kebobolan pop culture yang invasinya membabi-buta. Seperti yang dilihat sendiri oleh penulis saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) di salah satu desa di Bojonegoro, Jawa Timur.

Awalnya, penulis begitu senang memerhatikan anak-anak SD disana yang tak menghabiskan waktu dengan mencumbui gadget layaknya anak-anak perkotaan. Setiap hari, mereka masih asyik berkumpul, sambil memainkan permainan tradisional. Namun, lambat laun, penulis menjadi tak nyaman ketika mendengar mereka menyanyikan lagu-lagu sarat kegalauan cinta dan membincangkan sinetron yang tak jelas alur ceritanya. Lebih miris lagi, saat penulis menonton pentas seni di kegiatan Jambore kecamatan. Tak sedikit tim yang menampilkan tarian modern dengan gerakan yang belum pantas dilakukan anak seusia mereka. Bayangkan saja, siswa SD menari diiringi lagu Asereje, mengenakan pakaian ketat, lalu ditambah goyangan menggoda yang membuat penonton bersiul-siul sambil tertawa. Berita terburuknya, tarian tersebut dilatih oleh guru mereka sendiri. Lagi-lagi, bila penulis boleh menganalogikan, anak ibarat makanan terlanjur basi yang bahkan belum sempat matang sempurna. Mereka mencekoki dan dicekoki hal-hal yang tak sesuai dengan usianya.

Ini tentu ironi untuk pendidikan kita. Toh, sebenarnya anak bukan tak mau diajarkan hal-hal yang pantas, serta sesuai dengan tingkat usianya. Mereka hanya tak tahu dan tak dibiasakan. Terbukti, ketika penulis dan teman-teman KKN mengenalkan lagu dan tarian anak-anak, mereka menerima dengan senang hati. Bahkan, sangat antusias dan cepat menghafal dengan mengulanginya terus-menerus. Maka, menjadi penting agar jam belajar-mengajar di sekolah tak sekadar diisi dengan teori-teori yang memberatkan atau terbatas pada penilaian sikap mereka lewat tabel-tabel indikator kebaikan karakter. Namun, juga dimanfaatkan untuk mengenalkan hal-hal yang perlu dan pantas diketahui di usia anak. Bukan berarti harus didikte, namun cukup diarahkan untuk berpikir sejalan dengan usianya. Teach them how to think, not what to think.
 
Sebagai penutup, ijinkan penulis meminjam perkataan Driyarkara, bahwa pendidikan hakekatnya adalah memanusiakan manusia. Dan penulis merasa, untuk mencapainya, memang dibutuhkan proses dan perjalanan panjang. Tak perlu tergesa-gesa dengan memaksa anak-anak SD untuk menerima hal yang belum patut diterima di usia mereka. Pendidikan adalah ekspedisi, bukan kompetisi, apalagi sekadar makanan cepat saji. Sebab, kita bukan Bandung Bondowoso yang harus menyelesaikan pembangunan seribu candi hanya dalam satu malam.

*) Ditulis oleh Amalia Nurul Muthmainnah (Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga) saat berpartisipasi dalam Gelora Esai Nasional 2014. 





[1] Calistung Syarat Masuk SD, Mendikbud: Tidak Dibenarkan Itu! (Liputan 6, 13 Februari 2014). Diakses pada 6 November 2014 dari http://news.liputan6.com/read/826069/calistung-syarat-masuk-sd-mendikbud-tidak-dibenarkan-itu

[2] Diana Indah Palupi, Kepala Sekolah PAUD Taman Hijau Sukajadi, Batam.


[3] Wamendikbud: Kurikulum Diubah Karena Memberatkan Siswa (Antara News Kaltim) diakses pada 10 November 2014 dari http://www.antarakaltim.com/print/12487/wamendikbud-kurikulum-diubah-karena-memberatkan-siswa
[4] Sesuai penelitian yang dilakukan oleh Hans Jellen dari Universitas Utah, Amerika Serikat dan Klaus Urban dari Universitas Hannover, Jerman (Supriadi, 1994, h.85).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar