Barangkali,
legenda Roro Jonggrang tak perlu lagi diceritakan pada anak-anak. Agar generasi
penerus bangsa ini tak menjadi Bandung
Bondowoso-Bandung Bondowoso yang dengan pongahnya merasa mampu melakukan banyak
hal secara instan. Sebab, idiom “Lebih Cepat, Lebih Baik” meski bermaksud
positif, tak selalu aplikatif. Salah satunya, bila diterapkan pada anak-anak
yang masih menempuh pendidikan dasar. Terburu-buru untuk cepat, kadang malah
membuat anak tersesat. Menjadikan mereka mengecap hal-hal yang tak sinkron
dengan usianya.
Ya. Penulis sadar betul bahwa
mengurus pendidikan memang bukan perkara mudah. Indonesia bahkan harus berganti
kurikulum hingga sebelas kali sejak mendeklarasikan kemerdekaannya. Sayang,
ibarat makanan, kita terlalu banyak mencicipi ini itu –tanpa menikmatinya
sampai habis. Alhasil, yang didapat sekadar lidah yang mati rasa dan perut yang
tak kunjung kenyang.
Pergantian kurikulum hingga berulang kali menunjukkan adanya krisis
pada pendidikan kita. Krisis yang jelas bukan kebetulan belaka. Ada sebab-sebab
yang lantas melahirkan berbagai akibat. Di mana, menurut penulis, salah satu penyebabnya
adalah pendidikan anak-anak yang kini tak sejalan dengan usianya. Baik itu pendidikan
di dalam maupun luar sekolah.
Instanisme pada Pendidikan Dalam Sekolah
Contoh sederhana saja. Untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah
Dasar (SD), anak-anak kerap dituntut agar mahir membaca, menulis, dan berhitung
(calistung). Syarat tersebut lalu ditolak oleh Muhammad Nuh[1],
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
periode 2009-2014, yang mengatakan bahwa Taman Kanak-Kanak (TK) bukanlah
sekolahan, namun taman bermain. Yang sewajarnya tidak diberikan pelajaran
mengenai berhitung dan membaca. Calistung justru baru diajarkan ketika seorang
anak duduk di bangku SD. Meski Nuh mengancam
akan memberi sanksi pada SD yang memberlakukan syarat calistung dalam
penerimaan siswa barunya, kita tentu tahu sekolah-sekolah di negeri ini selalu lebih
“pintar-pintar” mengakali peraturan yang diterapkan.
Lagipula, menjadi paradoks, ketika Nuh melarang syarat calistung,
namun membiarkan kursus membaca dan berhitung cepat merajalela. Padahal,
jelas-jelas kursus semacam itu ditujukan untuk anak-anak TK. Orangtua yang
khawatir anaknya tidak dapat lolos ke SD terbaik, lantas berbondong-bondong
memasukkan anak-anak mereka ke kursus tersebut, meski harus merogoh uang yang
tak sedikit. Bahkan, seorang kepala sekolah salah satu PAUD (Pendidikan Anak
Usia Dini) di Batam[2],
pernah bercerita pada penulis kalau ia kerap kebingungan dengan para orangtua
yang mengeluh ketika anak-anak mereka tidak mahir calistung.
Kekhawatiran serta keluhan orangtua (yang sebenarnya berlebihan
itu) merupakan akibat ketika dunia pendidikan telah terperangkap dalam
mekanisme pasar serta dirasuki ideologi kapitalisme. Pendidikan dikemas sebagai
suatu komoditi, di mana orangtua menjadi target konsumen yang potensial. Anak
kemudian hanya menjadi korban dari gaya hidup orangtuanya yang terjebak dalam
budaya instan dan tak mau kalah cepat dengan orangtua-orangtua lain.
Lalu, selain syarat masuk tersebut, penulis juga merasa terganggu
dengan jumlah jam dan muatan pada mata pelajaran yang memberatkan anak. Baik
secara fisik maupun psikologis. Perhatikan saja, anak-anak usia dini yang kini
harus menggendong tas berisikan buku-buku pelajaran yang lebih berat dari
badannya sendiri. Berangkat sekolah di pagi hari, pulang di sore hari, dan
menghabiskan malam hari dengan mengerjakan pekerjaan rumah yang menumpuk. Meski
penulis mengapresiasi jumlah mata pelajaran yang dikurangi pada kurikulum 2013,
sangat disayangkan bila jam belajar-mengajar justru ditambah dari yang semula
26 jam per minggu menjadi 30-32 jam per minggu.
Sindrom too-much-schooling
semacam ini tentu berdampak pada keberadaan keluarga dan lingkungan sekitar sebagai
“sekolah” pertama bagi anak. Keberadaan keduanya akan kian tergusur. Yang
lantas membuat anak hanya cerdas secara teori, namun kreativitasnya mati. Anak akhirnya
tergagap-gagap ketika di kemudian hari hidup dan berinteraksi dengan
masyarakat.
Belum lagi, materi-materi yang diajarkan juga terlalu berat.
Misalnya, anak kelas IV SD yang pada pelajaran PPKN diminta untuk menggambarkan
struktur organisasi desa, kecamatan, hingga provinsi. Padahal, anak seusia itu
bahkan belum paham apa sebenarnya yang dimaksud dengan pemerintahan[3].
Hal senada juga ditemukan pada fenomena 4x6 vs 6x4 yang sempat hits beberapa waktu lalu. Guru yang
serta-merta menyalahkan jawaban sang anak menunjukkan kalau kini anak SD
dipaksa memahami definisi tanpa diberitahukan prinsip bahwa sering kali ada
banyak cara untuk mendapatkan hasil yang sama. Anak, seolah-olah, dituntut
untuk mengetahui dan memahami segala hal. Ibaratnya, mereka adalah bayi yang
giginya baru saja tumbuh, namun sudah disuapi nasi bertekstur keras beserta sambal
super-pedas oleh ibunya sendiri.
Kelalaian di Pendidikan Luar Sekolah
Yang dikedepankan oleh kurikulum
2013 adalah pendidikan karakter. Di mana, menurut penulis, karakter seseorang
sangat dipengaruhi oleh buku yang dibaca, acara televisi yang ditonton, serta
lagu yang didengarkan. Sehingga, peran guru maupun orangtua amat krusial untuk
mengontrol dan meliterasi anak dalam hal penggunaan media. Sayangnya, pada
penerapan pendidikan luar sekolah ini, guru dan orangtua justru kebobolan pop culture yang invasinya membabi-buta.
Seperti yang dilihat sendiri oleh penulis saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) di
salah satu desa di Bojonegoro, Jawa Timur.
Awalnya, penulis begitu senang
memerhatikan anak-anak SD disana yang tak menghabiskan waktu dengan mencumbui gadget layaknya anak-anak perkotaan.
Setiap hari, mereka masih asyik berkumpul, sambil memainkan permainan
tradisional. Namun, lambat laun, penulis menjadi tak nyaman ketika mendengar
mereka menyanyikan lagu-lagu sarat kegalauan cinta dan membincangkan sinetron
yang tak jelas alur ceritanya. Lebih miris lagi, saat penulis menonton pentas
seni di kegiatan Jambore kecamatan. Tak sedikit tim yang menampilkan tarian
modern dengan gerakan yang belum pantas dilakukan anak seusia mereka. Bayangkan
saja, siswa SD menari diiringi lagu Asereje,
mengenakan pakaian ketat, lalu ditambah goyangan menggoda yang membuat penonton
bersiul-siul sambil tertawa. Berita terburuknya, tarian tersebut dilatih oleh
guru mereka sendiri. Lagi-lagi, bila penulis boleh menganalogikan, anak ibarat
makanan terlanjur basi yang bahkan belum sempat matang sempurna. Mereka
mencekoki dan dicekoki hal-hal yang tak sesuai dengan usianya.
Ini tentu ironi untuk pendidikan kita. Toh, sebenarnya anak bukan
tak mau diajarkan hal-hal yang pantas, serta sesuai dengan tingkat usianya.
Mereka hanya tak tahu dan tak dibiasakan. Terbukti, ketika penulis dan
teman-teman KKN mengenalkan lagu dan tarian anak-anak, mereka menerima dengan
senang hati. Bahkan, sangat antusias dan cepat menghafal dengan mengulanginya
terus-menerus. Maka, menjadi penting agar jam belajar-mengajar di sekolah tak
sekadar diisi dengan teori-teori yang memberatkan atau terbatas pada penilaian
sikap mereka lewat tabel-tabel indikator kebaikan karakter. Namun, juga dimanfaatkan
untuk mengenalkan hal-hal yang perlu dan pantas diketahui di usia anak. Bukan
berarti harus didikte, namun cukup diarahkan untuk berpikir sejalan dengan
usianya. Teach them how to think, not
what to think.
*) Ditulis oleh Amalia Nurul Muthmainnah (Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga) saat berpartisipasi dalam Gelora Esai Nasional 2014.
[1] Calistung Syarat Masuk SD, Mendikbud: Tidak
Dibenarkan Itu! (Liputan 6, 13 Februari 2014). Diakses pada 6 November 2014
dari http://news.liputan6.com/read/826069/calistung-syarat-masuk-sd-mendikbud-tidak-dibenarkan-itu
[3] Wamendikbud: Kurikulum Diubah Karena
Memberatkan Siswa (Antara News Kaltim) diakses pada 10 November 2014 dari http://www.antarakaltim.com/print/12487/wamendikbud-kurikulum-diubah-karena-memberatkan-siswa
[4] Sesuai penelitian yang dilakukan oleh Hans Jellen dari Universitas Utah,
Amerika Serikat dan Klaus Urban dari Universitas Hannover, Jerman (Supriadi,
1994, h.85).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar