Senin, 02 Juni 2014

Please, Don't Take This Post Seriously :))

(maaf kalo pic ini malah mirip video klip lagu galau)

Etjieeeeh.
Halo.
I’m back from the dead.

Maaf yak udah lama (banget!) nggak nyentuh blog ini *sambil tersedu-sedu bersihin debu yang tebelnya udah lima kilometer*
Kemarin-kemarin, saya lagi fokus. Fokus nyari jodoh.

Oke. Long story short, postingan kali ini terinspirasi setelah saya nontonin Mata Najwa edisi Jokowi vs Prabowo dan ngubek-ngubek internet baca tulisan yang ngebahas soal dua manusia itu. Which is, isinya lucu-unyu-munyu-bingit sampai bikin saya “bangkit dari kematian dan kembali menulis blog ini” #tsah.

Tahun politik, menurut saya, membuat semua orang jadi lucu.
Semua orang, terutama para politikus, jadi mirip remaja galau. 
Labil. Hari ini bilang A, eh besoknya ngomong B.  Waktu masih pedekate, so sweet-nya luar biasa. Begitu nggak jadian, langsung nuduh PHP. Langsung nyari pelarian baru, terus jelek-jelekin mantan. Kasus lain, ada yang sengaja nggak milih. Sengaja HTS-an dan stay friendzone-an, supaya tetep pewe, memanfaatkan suasana agar nantinya nggak rugi apa-apa (ini nggak maksud nyindir partai biru yang masih belum menentukan koalisi  itu loh ya #eh).

Hadeh. *geleng-geleng kepala* *kibas-kibas jilbab*

Apa jadinya negara ini kalo politikusnya aja hobinya galau begitu.
Makanya, kalo rakyat Indonesia mau move on dan capek terus-terusan di-PHP, stop deh ya pilih pemimpin yang kebanyakan modus #eaaa #bukancurhatpribadi.

Anyway, ada hal lucu lain yang saya temukan. Setelah tayangan Mata Najwa edisi 28 Mei kemarin, banyak yang komentar kalo tayangan Mata Najwa berpihak.
Yaelah, broh.
Dari jaman kapan, emang Najwa selalu berpihak di setiap tayangannya. Mungkin, selama ini, keberpihakan itu tersembunyi di balik hidung mancungnya dan kredibilitasnya sebagai jurnalis kelas kakap.

Still, saya tetap suka mantengin Mata Najwa. Sebab, terlepas dari Metro TV itu miliknya oom Paloh, menurut saya, prinsip “Jurnalis harus netral” juga sekadar mitos belaka. Jurnalis pasti berpihak. Namun, jurnalis harus tetap independen. Ia bebas menentukan kepada siapa ia akan berpihak. Ia sanggup mempertanggungjawabkan keberpihakannya, karena ia berpihak berdasarkan fakta dan data-data yang ada. Meski saya nggak tahu pasti apa alasan dibalik keberpihakan Najwa, for me, Najwa selalu menampilkan keberpihakannya dengan gaya yang cerdas. Nggak seperti yang lain, yang hanya mengandalkan emosi.

Lagian, jangan komentarin keberpihakannya TV One, Metro TV atau MNC Group doang dong. Emangnya SCTV sama Trans Corp itu nggak berpihak? Tempo? Kompas? Yakin, mereka 100% netral? Hanya karena pemilik mereka nggak nyalonin diri di pesta demokrasi terbesar Indonesia, terus mereka pasti nggak berpihak? Please, take a look deeply :))

Last but not least, kalo misalnya, saya ditanya saya milih Jokowi atau Prabowo? Entahlah. Saya disuruh milih calon ayahnya anak-anak aja susah, apalagi disuruh milih calon presiden Indonesia #uhuk #curcollagi. Yang penting, meski masih belum bisa ngasih kepastian *ehem*, saya udah punya satu kriteria utama dalam memilih pemimpin.

Buat saya, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang ingat bahwa tanggung jawab yang ia emban bukan sekadar kepada orang-orang yang ia pimpin, tetapi juga kepada Tuhan. Bukan berarti kudu adu kelihaian mengaji loh, ya *itu mah nggak membuktikan apa-apa*. Tapi, menurut saya, begitu seorang pemimpin mengingat Tuhan, ia pasti akan mempertimbangkan setiap keputusannya dengan hati-hati. Dan kriteria itu pula yang akan saya terapkan dalam memilih pemimpin rumah tangga nantinya *duh mal, please stop curcolnya*.

Udahan ah. Postingan kali ini bukan bermaksud menjadikan Anda (kalo ada yang baca sih) gundah gulana. Postingan ini justru ingin memaniskan suasana dan membuat Anda tertawa. Satu pesan saya, stop pilih pemimpin kebanyakan modus. Jangan sampai yang modus diiyain, tapi yang tulus disia-siain :*


Kecup basah,




Amal, si Gajah Terindah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar