Untuk yang tersayang, bidadari terindah, Nurjannah, Ibuku.
Halo Bu, apa kabarmu? Aku harap kau baik-baik saja serta mendapat tempat terbaik di alam sana. Dan janganlah kau risau atau gelisah, aku, putrimu yang cantik dan menggemaskan ini dalam kondisi sehat, bahagia, dan ya, amat merindukanmu.
10 tahun, Bu. Sudah 10 tahun semenjak kepergianmu. Sudah 10 tahun tak kulihat paras cantik serta senyum hangatmu yang dulu selalu mengiringi hari-hariku. Sudah 10 tahun tak kudengar nasihat ataupun omelan-omelanmu yang dulu amat kubenci namun sekarang begitu kurindukan.Dan sudah 10 tahun pula, aku sedikit mengabaikanmu.
Ibu, bersama dengan surat ini, aku ingin memohon beribu-ribu maafmu. Maafkan aku, Bu. Maafkan atas segala kesalahan yang pernah aku perbuat kepadamu. Kesalahan pada saat engkau ada, maupun saat akhirnya engkau tiada. Maafkan aku yang dulu selalu menyusahkanmu. Maafkan aku yang dulu tak meneteskan air mata saat pemakamanmu. Maafkan aku karna tak banyak kenangan bersamamu yang melekat di memoriku. Maafkan aku yang sama sekali tak menyimpan satupun fotomu. Maafkan aku yang tak lagi ingat hari ulang tahunmu. Maafkan aku yang bahkan tak tahu apa hobimu ataupun makanan favoritmu. Maafkan aku yang amat jarang menziarahi makammu. Tapi percayalah Bu, namamu selalu kusebut di setiap doa-doaku.
Ibu, bersama dengan surat ini, aku juga ingin mengulas sedikit kenangan yang selalu muncul di benakku setiap kudengar namamu. Tak ada maksud apa-apa Bu, aku hanya takut sedikit kenangan ini nantinya akan terhapus oleh waktu. Maka dari itu, aku menuliskannya disini, agar suatu saat nanti, saat kenangan-kenangan itu mulai memudar, masih ada yang mampu mengingatkanku.
Ibu, aku masih ingat dulu setiap malam kau selalu memaksaku belajar. Dengan penuh kesabaran, kau ajari aku berhitung dan membaca. Aku yang awalnya tak tahu apa-apa, perlahan mulai mengenal dunia. Kini, tak ada lagi yang memaksaku belajar Bu. Ayah dan ummi hanya sekedar mengingatkanku, mereka menganggap aku sudah cukup dewasa untuk menentukan kapan saatnya belajar. Alhasil, kini prestasiku tak begitu bagus Bu. Aku terlalu dikuasai hasrat remajaku untuk terus bermalas-malasan. Aku rindu diajari olehmu, Bu.
Ibu, masih teringat olehku saat terakhir aku menemanimu di rumah sakit budi kemuliaan, saat terakhir sebelum kau dipindahkan ke rumah sakit di singapura, tempat dimana kau menghembuskan nafas terakhirmu. Jujur, kenangan itu samar Bu. Tapi itu kenangan terbaik yang kuingat tentangmu. "Lia, nanti sampai rumah, mandi dan belajar ya", ujarmu waktu itu, sambil mengelus lembut punggungku dan memberikan sesimpul senyum hangatmu. Senyum hangat favoritku.
Ibu, aku juga masih ingat saat aku menatapmu terbujur kaku, diam tak bergerak di ruang keluarga, hingga pada akhirnya ragamu dikubur di liang lahat. Semua orang menangis, semua orang sedih dengan kepergianmu. Tapi aku tidak, aku hanya bisa diam sambil memandangimu. Maaf Bu, tapi waktu itu aku hanya gadis 5 tahun yang bahkan belum fasih mengeja kata 'meninggal' apalagi mengerti apa maknanya.
Hanya itu Bu. Hanya segelintir kenangan yang aku ingat tentangmu. Namun Bu, kau harus yakin, aku takkan pernah melupakanmu. 1000 juta orang boleh saja datang dan pergi dalam hidupku, mengisi memoriku dengan kenangan-kenangan yang baru. Tapi akan selalu ada 1 titik di hati dan otakku yang hanya akan terisi oleh namamu.
Ibu, aku tahu surat ini takkan pernah sampai ke tanganmu. Aku hanya bisa berdoa agar Tuhan membaca surat ini dna membisikkan isinya padamu, dan juga membisikkan kalau aku amat menyayangimu. Aku harap suatu saat nanti kita bisa bertemu kembali Bu, di surgaNya yang indah, merajut kenangan-kenangan baru antara kau dan aku :)
Salam rindu dari hati yang terdalam,
Putrimu, Amalia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar